-->

Kisah Nyata, Aku Makin Kuat Setelah Ditempa Berbagai Ujian



"Mau jadi apa kau? Mana bisa hidup tanpaku?" Bantingan di pintu mengakhiri omelannya malam ini. Seperti biasa, ia menceramahiku tentang segala hal. Tentang ketidakbecusanku mengurus salon, padahal aku pernah meraih gelar sales terbaik dari sebuah merek sampo. Aku dituduh tidak perhatian pada putra tunggalku, padahal walau sering kutinggal bekerja, ia selalu mengirimiku pesan pendek dan memelukku jika aku ada di rumah. Semua tuduhan itu kutelan bulat-bulat, hingga aku kehilangan kendali. Haruskah aku kembali ke Indonesia?

Baca juga artikel : Merasa Tertekan & Tidak Ikhlas Akan Pekerjaanmu? Motivasi Ini Cocok Untukmu, Buktikan Saja

Dulu aku merasa mujur karena bisa bekerja di negeri jiran dan melanjutkan kuliah yang sempat tertunda karena menikah muda. Pernikahan pertamaku yang kandas membuatku semangat untuk mengubah nasib, demi kesejahteraan keluarga. Aku bahkan tidak malu untuk mencuci piring di luar warung, beratus kilometer dari keluargaku di Sumatera, hanya untuk sesuap nasi.

Pertemuanku dengan pria itu membuat nasibku berubah 180 derajat. Ia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama, dan berjanji akan menanggung biaya kuliahku. Akhirnya aku bisa menuntut ilmu walau usiaku tak lagi belasan, yang penting aku sudah mewujudkan cita-cita lamaku.

Usai lulus kuliah dan punya anak, kuputuskan untuk kursus memotong rambut dan tata kecantikan, karena ingin jadi wirausaha. Aku ingin mengatur waktuku sendiri, sehingga bisa mengasuh anak tunggalku kapan saja. Suamiku menyetujuinya, bahkan mendaftarkanku pada akademi tata rambut tingkat internasional.

Baca juga artikel : Merasa Cinta Telah Melalaikanmu, Quote Ini Akan Membantumu Kembali Di Tempat Yang Tepat

Aku juga diperbolehkan membuka salon di Jakarta, karena pasarnya lebih luas. Selain membuka salon, aku juga membuka kursus membuat miniatur dan suvenir berbahan clay. Aku menikmati karirku di Jakarta dan bolak-balik pulang ke negeri Jiran untuk menengok putraku. Sampai ia marah karena aku dianggap mengabaikannya. Padahal ia sendiri yang mendorongku untuk berkarir agar tidak karatan di rumah..

 

Berbagai tuduhan ia keluarkan, katanya ia mengangkatku dari gorong-gorong kemiskinan, tapi malah melalaikan kewajiban sebagai istri. Sejuta makian kuanggap angin lalu, aku hanya fokus untuk membesarkan salonku.Sampai ada kejadian-kejadian aneh di luar nalar. Seolah-olah salonku diserbu makhluk astral dari berbagai penjuru. Salonku tampak tutup, padahal masih buka. Akhirnya dengan terpaksa aku menutupnya dan kembali ke negeri Jiran, hanya untuk memeluk anakku.

Sampai di rumah, ia tak ada. Suamiku sengaja menyembunyikannya, katanya agar aku tak membawanya pulang ke Sumatera. Aku berteriak histeris, haruskah aku selalu jadi sasaran kemarahannya?

Di tengah kekalutan, aku bersyukur Tuhan masih menganugerahiku akal sehat. Aku diam-diam keluar dari rumah yang kini terasa seperti neraka. Untung paspor dan dokumen penting lain bisa kuselamatkan. Untuk sementara aku kembali ke Jakarta, dengan bantuan seorang teman.

Diam-diam kususun rencana untuk berpisah secara legal dan mengambil hak asuh untuk anakku. Tapi beribu usahaku terkesan sia-sia. Pekerjaanku di Indonesia sebagai pengusaha lambat laun menunjukkan penurunan, apakah aku harus bekerja lagi di luar negeri?

Aku nekat kembali ke negeri asuhku, dan melamar sebagai pelayan rumah makan. Ya, seorang pe-la-yan! Aku tak malu walau punya ijazah diploma di bidang keuangan. Aku dipilih karena fasih berbahasa mandarin. Bosku ternyata tahu aku pernah kuliah, jadi dipindah jadi posisi kasir.

 

Setelah kerja di rumah makan, aku nekat melamar kerja ke sebuah hotel sebagai front office. Puji syukur aku diterima, lagi-lagi karena kemampuan abhasaku. Aku bekerja di 2 tempat, nyaris 24 jam. Semua tak hanya kulakukan demi uang, tapi demi pengalaman bekerja di bidang perhotelan. Aku mengamati sekitar, ternyata bisnis hotel dan travel sangatlah menarik. Terbetik ide untuk membuat biro jasa liburan dan kutawarkan pada teman-temanku di Jakarta.

Syukurlah, responnya positif. Aku bisa menabung lalu pindah ke rumah yang lebih besar. Sementara aku terus memperjuangkan hak untuk bertemu anak bungsuku. Puji syukur, ada seorang kenalan yang berprofesi sebagai pengacara. Ia berniat menolongku dan mau hanya dibayar 10% dari standar honornya.

Temanku sangat gigih dan hakim memutuskan aku berhak untuk bertemu anakku setiap saat, karena ia masih di bawah umur. Akhirnya setelah bertahun-tahun, aku bisa memeluk si bungsu, tanpa khawatir akan dihantui oleh makian ayahnya. Aku menikmati setiap detik hidupku, baik saat jadi tukang cuci piring, pelayan, maupun pemilik biro travel.

Aku bersyukur bisa bertambah kuat setelah melewati semuanya. Karena pelaut yang tangguh tidak akan lahir dari laut yang tenang.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel